5.08.2011

RED CLIFF, an Awesome Epic War Film!

Diposting oleh mii di 01.36

Entah kenapa ada yang menarik banget dari film ini. Padahal sebelumnya aku jarang nonton film kolosal—apalagi Cina, karena emang nggak suka. Tapi waktu pertama liat film ini tayang di sebuah stasiun TV nasional kita (yang part 1), itu saluran nggak aku ganti. Awalnya sih karna liat muka Takejii (Kaneshiro Takeshi) di situ xD. Tapi jujur bukan cuma karna itu. Semakin lama aku tonton, emang banyak hal-hal yang menarik di sana.

Red Cliff mengisahkan perang yang terjadi di masa akhir Dinasti Han (208-209 M). Dimulai oleh pasukan Perdana Menteri Cao Cao (Zhang Fengyi) yang menyerang wilayah barat yang dikuasai Liu Bei (Anda Yong). Pertempuran itu dimenangkan oleh Cao Cao, sehingga Liu Bei dan rakyatnya tepaksa mengungsi dan meminta perlindungan pada wilayah timur Wu. Kemudian atas saran Zhuge Liang (Kaneshiro Takeshi), penasihat Liu Bei, koalisi terjalin antara Liu Bei dengan pemimpin wilayah timur, Sun Quan (Chang Chen). Mereka sepakat beraliansi untuk menyerang Cao Cao, dan pasukan mereka dipimmpin oleh jendral serta panglima hebat, Gan Xing (Nakamura Shido) dan Zhou Yu (Tony Leung). Karena jumlah prajurit mereka terlalu sedikit dibandingkan pasukan Cao Cao, Zhuge dan Zhou harus membuat strategi jitu untuk mengalahkannya. Termasuk mengirim Sun Shangxiang (Vicky Zhao), adik Sun Quan, untuk menjadi mata-mata di wilayah musuh.

Di tengah cerita, diketahui bahwa penyerangan Cao Cao di Jurang Merah adalah karena wanita. Cao Cao memiliki sebuah lukisan wanita cantik di ruangannya, dan ternyata lukisan itu adalah Xiao Qiao (Lin Chi-ling), istri Zhou Yu. Sehingga sebelum perang di atas Sungai Yangtse itu dimulai, Xiao Qiao datang menemui Cao Cao (tanpa sepengetahuan suaminya) untuk memintanya menghentikan perang. Tapi Cao Cao berkilah bahwa ambisinya bukan karena wanita itu. Dia akan tetap berperang, karena pertempuran itu mengorbankan kehormatan dirinya. Dalam pertempuran kali ini, angin menguntungkan pasukan Zhou Yu. Pasukannya menyerang dengan api, dan membakar habis pasukan Cao Cao. Perdana Menteri itu kalah, dan diusir dari wilayah itu. Zhou Yu dengan besar hati tidak menghukum mati dirinya, karena bukan kekuasaan yang diincarnya.

Film ini mengingatkan aku pada film kolosal juga, Troy. Sama-sama film perang, dan sama-sama menayangkan strategi perang yang luar biasa. Tapi buatku, taktik yang dipake sama para sesepuh bangsa Cina di film ini lebih keren dan lebih cerdas. Kalo Troy terkenal dengan taktik Trojan Horse untuk menembus benteng Kerajaan Troya, nah di Red Cliff pake taktik angin untuk menaklukan pasukan Perdana Menteri Cao Cao. Nggak hanya itu, masih banyak taktik-taktik lain yang bikin kita mangap kagum. Seperti taktiknya Zhuge Liang untuk mendapatkan 100.000 panah musuh. Trus taktik pertahanan yang dipake Zhou Yu waktu diserang pasukan Cao Cao di wilayahnya, padahal Zhuge Liang sempat mencibir kalo itu taktik kuno. Ternyata berhasil, dan malah mampu memukul mundur pasukan Cao Cao.

Selain strategi-strategi cerdas itu, banyak juga nilai-nilai humanis dan patriotis dalam film ini. Seperti kita bisa mengenal bagaimana budaya bangsa Cina lewat seni minum teh yang ternyata memiliki makna khusus. Kemudian seni bermusik yang bisa menjadi media komunikasi antara yang satu dengan yang lainnya, seperti dalam adegan di part 1 antara Zhuge Liang dan Zhou Yu saat memetik alat musik mereka (aduh saya nggak tau namanya, mungkin kalo di Jepang semacam koto, kalo di Indo ya kecapi gitu deh). Dan semangat patriotisme yang muncul bisa dilihat dari perjuangan rela mati dari masing-masing pasukan. Meski begitu, film ini juga memuat unsur cinta damai. Kekuatan serta kekuasaan yang diibaratkan bagai sebilah pedang yang menghunus, tidak lebih indah dari kedamaian. Makanya film ini ditutup dengan klimaks yang bagus, yang menggaris-bawahi sebuah perdamaian; Zhou Yu datang bersama istrinya Xiao Qiao membawa Mengmeng yang telah besar (kuda yang dulu proses kelahirannya yang sungsang dibantu Zhuge Liang) ke padang rumput, dan memberikannya pada Zhuge Liang untuk dilepaskan. Sebelum berpisah Xiao Qiao berkata, “Jangan jadikan Mengmeng sebagai kuda perang ya!” Akhir sebuah film perang yang indah banget!

Dan aku paling suka dan paling tersentuh sama adegan di mana Cao Cao berhasil dikalahkan. Tapi saat itu yang dikatakan Zhou Yu adalah, “Tidak ada kemenangan di sini.” Jelas banget bahwa inti dari perang itu bukanlah perebutan kekuasaan, tapi lebih kepada mempertahankan kedamaian. Karena bagaimanapun alasannya, perang hanya meninggalkan kehilangan dan kepedihan atas orang-orang yang jadi korban.

Sang sutradara, John Woo, mengatakan isi cerita Red Cliff ini nggak sepenuhnya berdasarkan sejarah, cuma 50%-nya aja. Selebihnya adalah improvisasi dari si sutradara sendiri. Woo memutuskan mengubah cerita dengan mencampurkan perasaan modern dan perasaannya sendiri untuk kesan yang lebih menduniawi. Menurutnya, akurasi sejarah tidaklah lebih penting ketimbang perasaan penonton tentang pertempuran. Aku rasa teori John Woo berhasil. Dari benang merah sejarah pertempuran di Jurang Merah, film ini semakin kaya dengan pencampuran drama hasil olahan Woo, sehingga memberi kesan warna-warni dalam film ini. Nggak melulu tentang pertumpahan darah; ambisi terhadap kekuasaan, tapi juga dihiasi unsur drama yang lebih humanis dan nggak monoton.

Satu film bagus buatmu yang mungkin belom nonton Red Cliff!



sumber: wikipedia

0 komentar:

Posting Komentar

5.08.2011

RED CLIFF, an Awesome Epic War Film!

Diposting oleh mii di 01.36

Entah kenapa ada yang menarik banget dari film ini. Padahal sebelumnya aku jarang nonton film kolosal—apalagi Cina, karena emang nggak suka. Tapi waktu pertama liat film ini tayang di sebuah stasiun TV nasional kita (yang part 1), itu saluran nggak aku ganti. Awalnya sih karna liat muka Takejii (Kaneshiro Takeshi) di situ xD. Tapi jujur bukan cuma karna itu. Semakin lama aku tonton, emang banyak hal-hal yang menarik di sana.

Red Cliff mengisahkan perang yang terjadi di masa akhir Dinasti Han (208-209 M). Dimulai oleh pasukan Perdana Menteri Cao Cao (Zhang Fengyi) yang menyerang wilayah barat yang dikuasai Liu Bei (Anda Yong). Pertempuran itu dimenangkan oleh Cao Cao, sehingga Liu Bei dan rakyatnya tepaksa mengungsi dan meminta perlindungan pada wilayah timur Wu. Kemudian atas saran Zhuge Liang (Kaneshiro Takeshi), penasihat Liu Bei, koalisi terjalin antara Liu Bei dengan pemimpin wilayah timur, Sun Quan (Chang Chen). Mereka sepakat beraliansi untuk menyerang Cao Cao, dan pasukan mereka dipimmpin oleh jendral serta panglima hebat, Gan Xing (Nakamura Shido) dan Zhou Yu (Tony Leung). Karena jumlah prajurit mereka terlalu sedikit dibandingkan pasukan Cao Cao, Zhuge dan Zhou harus membuat strategi jitu untuk mengalahkannya. Termasuk mengirim Sun Shangxiang (Vicky Zhao), adik Sun Quan, untuk menjadi mata-mata di wilayah musuh.

Di tengah cerita, diketahui bahwa penyerangan Cao Cao di Jurang Merah adalah karena wanita. Cao Cao memiliki sebuah lukisan wanita cantik di ruangannya, dan ternyata lukisan itu adalah Xiao Qiao (Lin Chi-ling), istri Zhou Yu. Sehingga sebelum perang di atas Sungai Yangtse itu dimulai, Xiao Qiao datang menemui Cao Cao (tanpa sepengetahuan suaminya) untuk memintanya menghentikan perang. Tapi Cao Cao berkilah bahwa ambisinya bukan karena wanita itu. Dia akan tetap berperang, karena pertempuran itu mengorbankan kehormatan dirinya. Dalam pertempuran kali ini, angin menguntungkan pasukan Zhou Yu. Pasukannya menyerang dengan api, dan membakar habis pasukan Cao Cao. Perdana Menteri itu kalah, dan diusir dari wilayah itu. Zhou Yu dengan besar hati tidak menghukum mati dirinya, karena bukan kekuasaan yang diincarnya.

Film ini mengingatkan aku pada film kolosal juga, Troy. Sama-sama film perang, dan sama-sama menayangkan strategi perang yang luar biasa. Tapi buatku, taktik yang dipake sama para sesepuh bangsa Cina di film ini lebih keren dan lebih cerdas. Kalo Troy terkenal dengan taktik Trojan Horse untuk menembus benteng Kerajaan Troya, nah di Red Cliff pake taktik angin untuk menaklukan pasukan Perdana Menteri Cao Cao. Nggak hanya itu, masih banyak taktik-taktik lain yang bikin kita mangap kagum. Seperti taktiknya Zhuge Liang untuk mendapatkan 100.000 panah musuh. Trus taktik pertahanan yang dipake Zhou Yu waktu diserang pasukan Cao Cao di wilayahnya, padahal Zhuge Liang sempat mencibir kalo itu taktik kuno. Ternyata berhasil, dan malah mampu memukul mundur pasukan Cao Cao.

Selain strategi-strategi cerdas itu, banyak juga nilai-nilai humanis dan patriotis dalam film ini. Seperti kita bisa mengenal bagaimana budaya bangsa Cina lewat seni minum teh yang ternyata memiliki makna khusus. Kemudian seni bermusik yang bisa menjadi media komunikasi antara yang satu dengan yang lainnya, seperti dalam adegan di part 1 antara Zhuge Liang dan Zhou Yu saat memetik alat musik mereka (aduh saya nggak tau namanya, mungkin kalo di Jepang semacam koto, kalo di Indo ya kecapi gitu deh). Dan semangat patriotisme yang muncul bisa dilihat dari perjuangan rela mati dari masing-masing pasukan. Meski begitu, film ini juga memuat unsur cinta damai. Kekuatan serta kekuasaan yang diibaratkan bagai sebilah pedang yang menghunus, tidak lebih indah dari kedamaian. Makanya film ini ditutup dengan klimaks yang bagus, yang menggaris-bawahi sebuah perdamaian; Zhou Yu datang bersama istrinya Xiao Qiao membawa Mengmeng yang telah besar (kuda yang dulu proses kelahirannya yang sungsang dibantu Zhuge Liang) ke padang rumput, dan memberikannya pada Zhuge Liang untuk dilepaskan. Sebelum berpisah Xiao Qiao berkata, “Jangan jadikan Mengmeng sebagai kuda perang ya!” Akhir sebuah film perang yang indah banget!

Dan aku paling suka dan paling tersentuh sama adegan di mana Cao Cao berhasil dikalahkan. Tapi saat itu yang dikatakan Zhou Yu adalah, “Tidak ada kemenangan di sini.” Jelas banget bahwa inti dari perang itu bukanlah perebutan kekuasaan, tapi lebih kepada mempertahankan kedamaian. Karena bagaimanapun alasannya, perang hanya meninggalkan kehilangan dan kepedihan atas orang-orang yang jadi korban.

Sang sutradara, John Woo, mengatakan isi cerita Red Cliff ini nggak sepenuhnya berdasarkan sejarah, cuma 50%-nya aja. Selebihnya adalah improvisasi dari si sutradara sendiri. Woo memutuskan mengubah cerita dengan mencampurkan perasaan modern dan perasaannya sendiri untuk kesan yang lebih menduniawi. Menurutnya, akurasi sejarah tidaklah lebih penting ketimbang perasaan penonton tentang pertempuran. Aku rasa teori John Woo berhasil. Dari benang merah sejarah pertempuran di Jurang Merah, film ini semakin kaya dengan pencampuran drama hasil olahan Woo, sehingga memberi kesan warna-warni dalam film ini. Nggak melulu tentang pertumpahan darah; ambisi terhadap kekuasaan, tapi juga dihiasi unsur drama yang lebih humanis dan nggak monoton.

Satu film bagus buatmu yang mungkin belom nonton Red Cliff!



sumber: wikipedia

0 komentar on "RED CLIFF, an Awesome Epic War Film!"

Posting Komentar

 

doremii dori! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea