5.14.2011

Pembunuhan di Sungai Nil — Death on The Nile

Diposting oleh mii di 09.05 0 komentar
Linnet Ridgeway adalah wanita muda yang hidupnya nyaris sempurna. Dia kaya, punya wajah dan tubuh menawan, sehat, dan terkenal. Namun tidak semua orang menyukainya. Banyak wanita-wanita lain di dunia yang iri padanya. Sehingga meski dipuja, Linnet juga dikelilingi oleh orang-orang yang memendam rasa benci.

Terlebih-lebih oleh Jacqueline de Bellefort, seorang teman akrab Linnet. Gadis ini sakit hati dan kecewa setengah mati pada Linnet, setelah tunangannya yang bernama Simon Doyle 'direbut' oleh sahabatnya itu. Linnet menikahi Simon, padahal Simon hanya seorang pemuda miskin. Linnet juga tahu bahwa Jackie cinta mati pada Simon. Tapi gadis itu tak peduli.

Setelah menikah, Linnet dan Simon berbulan madu ke Mesir. Mereka mengikuti tur di atas Sungai Nil dengan sebuah kapal mewah. Seharusnya ini adalah saat-saat membahagiakan untuk Linnet. Tapi tidak. Di sana mereka bertemu Jackie. Gadis itu meneror dengan mengikuti pasangan pengantin baru itu ke manapun mereka pergi. Jackie juga membawa pistol, mengancam akan menembak kepala Linnet. Hercule Poirot yang kebetulan ikut dalam tur tersebut, dimintai tolong oleh Linnet untuk menyelesaikan masalahnya. Setelah mendengar keluh-kesah Linnet, Poirot kemudian menemui Jackie dan menasihatinya. Namun Jacki tidak mau dengar. Dia tetap akan melakukan teror itu, dan suatu saat pasti akan menembak kepala Linnet.

Suatu malam, saat Poirot merasa ngantuk sekali sehingga dia cepat tidur, terjadilah insiden pertengkaran antara Simon dan Jackie. Gadis itu dalam keadaan mabuk menembak kaki Simon. Setelah itu terjadi, dia seolah jadi gila, dan menyesali perbuatannya. Dan pada pagi harinya, Linnet ditemukan tewas di kabinnya, dengan luka tembak di kepala. Di dinding dekat dia berbaring, tertulis huruf J dengan darah. Saat Poirot memeriksa jari Linnet, ada darah di sana. Mungkinkah ucapan yang pernah dikatakan Jackie bahwa dia ingin membunuh Linnet itu benar-benar dilakukannya?

Dan Mosieur Hercule Poirot mulai beraksi...

Satu lagi misteri yang sangat mengesankan dalam buku Madam Christie. Kali ini bukan lagi di London, melainkan Mesir. Dengan setting tempat yang tidak biasa, sambil mengikuti alur ceritanya aku berasa terlibat dalam tur di atas Sungai Nil itu. Mengesankan! (jadi pengen ke Mesir juga).

Diawali dengan plot yang terpisah-pisah, setting yang berbeda, serta tokoh-tokoh yang berbeda pula. Di masing-masing plot, setiap tokoh punya latar belakang berbeda-beda namun masih tetap terhubung dengan benang merah cerita ini; Linnet Ridgeway. Di cerita ini terlibat banyak tokoh yang awalnya (jujur) bikin aku bingung. Tapi di situlah hebatnya Madam Christie, dia mampu menciptakan karakter yang nggak sama satu dengan yang lainnya. Walaupun satu tokoh itu perannya nggak begitu penting, tapi tokoh itu punya satu ciri yang bisa membuatnya beda dari karakter lain. Salah satu yang membuat aku kagum sama Madam Christie. Dan kurasa hampir semua bukunya melibatkan banyak tokoh (sejauh yang udah pernah kubaca).

Berikutnya, aku masih suka sama cara Madam Christie mendeskripsikan tokoh-tokohnya, terutama Hercule Poirot. Trademark-nya tetap bertahan; lelaki kecil/pendek, kumisnya yang luar biasa (lebat dan melengkung ke atas dengan unik), matanya yang (melebar) seperti mata kucing, lincah, dan satu yang paling utama—sikap sombongnya yang luar biasa.

Kembali ke cerita, seperti buku-buku Madam Christie yang sudah-sudah, akhir dari misteri pembunuhan ini nggak pernah bisa ketebak atau disangka-sangka. Selalu di luar dugaan. Seorang tokoh yang rasanya mustahil atau (sengaja) diposisikan pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk dijadikan tersangka, pada akhirnya dialah pelakunya. Dan lagi, dalam misteri kali ini nggak hanya terpaku pada satu pembunuhan, ada dua pembunuhan menyusul yang bikin jantung berdebar!

Penasaran? Buruan baca. Atau sudah? Mau berdiskusi? :)


gambar: gpu.co.id

5.08.2011

RED CLIFF, an Awesome Epic War Film!

Diposting oleh mii di 01.36 0 komentar

Entah kenapa ada yang menarik banget dari film ini. Padahal sebelumnya aku jarang nonton film kolosal—apalagi Cina, karena emang nggak suka. Tapi waktu pertama liat film ini tayang di sebuah stasiun TV nasional kita (yang part 1), itu saluran nggak aku ganti. Awalnya sih karna liat muka Takejii (Kaneshiro Takeshi) di situ xD. Tapi jujur bukan cuma karna itu. Semakin lama aku tonton, emang banyak hal-hal yang menarik di sana.

Red Cliff mengisahkan perang yang terjadi di masa akhir Dinasti Han (208-209 M). Dimulai oleh pasukan Perdana Menteri Cao Cao (Zhang Fengyi) yang menyerang wilayah barat yang dikuasai Liu Bei (Anda Yong). Pertempuran itu dimenangkan oleh Cao Cao, sehingga Liu Bei dan rakyatnya tepaksa mengungsi dan meminta perlindungan pada wilayah timur Wu. Kemudian atas saran Zhuge Liang (Kaneshiro Takeshi), penasihat Liu Bei, koalisi terjalin antara Liu Bei dengan pemimpin wilayah timur, Sun Quan (Chang Chen). Mereka sepakat beraliansi untuk menyerang Cao Cao, dan pasukan mereka dipimmpin oleh jendral serta panglima hebat, Gan Xing (Nakamura Shido) dan Zhou Yu (Tony Leung). Karena jumlah prajurit mereka terlalu sedikit dibandingkan pasukan Cao Cao, Zhuge dan Zhou harus membuat strategi jitu untuk mengalahkannya. Termasuk mengirim Sun Shangxiang (Vicky Zhao), adik Sun Quan, untuk menjadi mata-mata di wilayah musuh.

Di tengah cerita, diketahui bahwa penyerangan Cao Cao di Jurang Merah adalah karena wanita. Cao Cao memiliki sebuah lukisan wanita cantik di ruangannya, dan ternyata lukisan itu adalah Xiao Qiao (Lin Chi-ling), istri Zhou Yu. Sehingga sebelum perang di atas Sungai Yangtse itu dimulai, Xiao Qiao datang menemui Cao Cao (tanpa sepengetahuan suaminya) untuk memintanya menghentikan perang. Tapi Cao Cao berkilah bahwa ambisinya bukan karena wanita itu. Dia akan tetap berperang, karena pertempuran itu mengorbankan kehormatan dirinya. Dalam pertempuran kali ini, angin menguntungkan pasukan Zhou Yu. Pasukannya menyerang dengan api, dan membakar habis pasukan Cao Cao. Perdana Menteri itu kalah, dan diusir dari wilayah itu. Zhou Yu dengan besar hati tidak menghukum mati dirinya, karena bukan kekuasaan yang diincarnya.

Film ini mengingatkan aku pada film kolosal juga, Troy. Sama-sama film perang, dan sama-sama menayangkan strategi perang yang luar biasa. Tapi buatku, taktik yang dipake sama para sesepuh bangsa Cina di film ini lebih keren dan lebih cerdas. Kalo Troy terkenal dengan taktik Trojan Horse untuk menembus benteng Kerajaan Troya, nah di Red Cliff pake taktik angin untuk menaklukan pasukan Perdana Menteri Cao Cao. Nggak hanya itu, masih banyak taktik-taktik lain yang bikin kita mangap kagum. Seperti taktiknya Zhuge Liang untuk mendapatkan 100.000 panah musuh. Trus taktik pertahanan yang dipake Zhou Yu waktu diserang pasukan Cao Cao di wilayahnya, padahal Zhuge Liang sempat mencibir kalo itu taktik kuno. Ternyata berhasil, dan malah mampu memukul mundur pasukan Cao Cao.

Selain strategi-strategi cerdas itu, banyak juga nilai-nilai humanis dan patriotis dalam film ini. Seperti kita bisa mengenal bagaimana budaya bangsa Cina lewat seni minum teh yang ternyata memiliki makna khusus. Kemudian seni bermusik yang bisa menjadi media komunikasi antara yang satu dengan yang lainnya, seperti dalam adegan di part 1 antara Zhuge Liang dan Zhou Yu saat memetik alat musik mereka (aduh saya nggak tau namanya, mungkin kalo di Jepang semacam koto, kalo di Indo ya kecapi gitu deh). Dan semangat patriotisme yang muncul bisa dilihat dari perjuangan rela mati dari masing-masing pasukan. Meski begitu, film ini juga memuat unsur cinta damai. Kekuatan serta kekuasaan yang diibaratkan bagai sebilah pedang yang menghunus, tidak lebih indah dari kedamaian. Makanya film ini ditutup dengan klimaks yang bagus, yang menggaris-bawahi sebuah perdamaian; Zhou Yu datang bersama istrinya Xiao Qiao membawa Mengmeng yang telah besar (kuda yang dulu proses kelahirannya yang sungsang dibantu Zhuge Liang) ke padang rumput, dan memberikannya pada Zhuge Liang untuk dilepaskan. Sebelum berpisah Xiao Qiao berkata, “Jangan jadikan Mengmeng sebagai kuda perang ya!” Akhir sebuah film perang yang indah banget!

Dan aku paling suka dan paling tersentuh sama adegan di mana Cao Cao berhasil dikalahkan. Tapi saat itu yang dikatakan Zhou Yu adalah, “Tidak ada kemenangan di sini.” Jelas banget bahwa inti dari perang itu bukanlah perebutan kekuasaan, tapi lebih kepada mempertahankan kedamaian. Karena bagaimanapun alasannya, perang hanya meninggalkan kehilangan dan kepedihan atas orang-orang yang jadi korban.

Sang sutradara, John Woo, mengatakan isi cerita Red Cliff ini nggak sepenuhnya berdasarkan sejarah, cuma 50%-nya aja. Selebihnya adalah improvisasi dari si sutradara sendiri. Woo memutuskan mengubah cerita dengan mencampurkan perasaan modern dan perasaannya sendiri untuk kesan yang lebih menduniawi. Menurutnya, akurasi sejarah tidaklah lebih penting ketimbang perasaan penonton tentang pertempuran. Aku rasa teori John Woo berhasil. Dari benang merah sejarah pertempuran di Jurang Merah, film ini semakin kaya dengan pencampuran drama hasil olahan Woo, sehingga memberi kesan warna-warni dalam film ini. Nggak melulu tentang pertumpahan darah; ambisi terhadap kekuasaan, tapi juga dihiasi unsur drama yang lebih humanis dan nggak monoton.

Satu film bagus buatmu yang mungkin belom nonton Red Cliff!



sumber: wikipedia

5.01.2011

Di Dapur

Diposting oleh mii di 00.04 0 komentar
Seperti kata seorang temanku, semua yang kita lewati dalam hidup ini nggak ada yang sia-sia. Setuju banget sama dia. Karena memang apapun yang diciptakan Allah, apapun yang terjadi atas kehendak-Nya, nggak ada yang sia-sia, semua ada hikmahnya.

Nah, salah satunya adalah kisah hidupku sendiri. Sampai saat ini aku merasakan yang namanya susahnya mendapatkan pekerjaan. Apalagi di kota besar macam Jakarta. Ini jadi cobaan yang berat buat aku. Alhamdulillah Allah masih memberiku kekuatan untuk nggak berhenti ikhtiar dan terus berpikir optimis. Ya seperti kataku tadi, nggak ada yang sia-sia, karna semua ada hikmahnya. Aku belum juga dapat pekerjaan. Nah salah satu hikmahnya aku ada di rumah adalah bantu-bantu orang tua, terutama Mama.

Belakangan ini aku rajin bantuin Mama di dapur. Jujur, aku sama sekali malas masak. Yang selalu ada di pikiranku itu makan, makan, dan makan aja. Aku malas kalo udah dilibatkan dengan urusan-urusan bikin repot di dapur. Tapi karena merasa jenuh juga tanpa kerjaan penting di rumah, akhirnya kuputuskan untuk menengok kegiatan Mama di 'kantor'-nya. Walaupun nggak bisa masak, seenggaknya aku bisa bantu motong-motongin sayuran, atau ngupasin bawang, atau numis bumbu, yah kerjaan-kerjaan ringan gitu. Lama-lama kunikmati juga 'kerepotan' ini.

Setelah aku rajin ngerecok di dapur, aku mulai hapal bumbu-bumbu beberapa jenis masakan (lumayan lah), aku juga mulai bisa masak beberapa sajian (yang pastinya nggak susah-susah amat masaknya xD), selain itu aku juga tau gimana caranya mencuci sayur yang benar. Pokoknya banyak yang aku dapat. Apalagi masak itu kan hal yang rasanya wajib dikuasai cewek. Kita kan nggak selamanya hidup sama orang tua, nggak selamanya dibantuin pembantu. Lagian di mana-mana yang namanya suami pasti lebih suka seorang istri yang jago masak. Iya toh? Walaupun nggak sejago Farah Qiunn, seenggaknya bisa menyajikan sesuatu yang enak dimakan.

Selain itu, selama aku di dapur, aku sadar lebih punya banyak waktu buat ngobrol sama Mama. Mulai dari soal keluarga, soal lingkungan rumah, harga barang (biasa ibu-ibu), masa depan, atau hal apapun yang biasa dibincangkan ibu dan anak perempuannya. Kami punya lebih banyak kesempatan untuk berbagi, saling mengenal lebih dalam... Intinya waktu-waktu kami yang terbuang di dapur dapat membuat aku dan Mama jadi lebih dekat.

Terbukti kan? Nggak ada yang sia-sia di dunia ini!

5.14.2011

Pembunuhan di Sungai Nil — Death on The Nile

Diposting oleh mii di 09.05 0 komentar
Linnet Ridgeway adalah wanita muda yang hidupnya nyaris sempurna. Dia kaya, punya wajah dan tubuh menawan, sehat, dan terkenal. Namun tidak semua orang menyukainya. Banyak wanita-wanita lain di dunia yang iri padanya. Sehingga meski dipuja, Linnet juga dikelilingi oleh orang-orang yang memendam rasa benci.

Terlebih-lebih oleh Jacqueline de Bellefort, seorang teman akrab Linnet. Gadis ini sakit hati dan kecewa setengah mati pada Linnet, setelah tunangannya yang bernama Simon Doyle 'direbut' oleh sahabatnya itu. Linnet menikahi Simon, padahal Simon hanya seorang pemuda miskin. Linnet juga tahu bahwa Jackie cinta mati pada Simon. Tapi gadis itu tak peduli.

Setelah menikah, Linnet dan Simon berbulan madu ke Mesir. Mereka mengikuti tur di atas Sungai Nil dengan sebuah kapal mewah. Seharusnya ini adalah saat-saat membahagiakan untuk Linnet. Tapi tidak. Di sana mereka bertemu Jackie. Gadis itu meneror dengan mengikuti pasangan pengantin baru itu ke manapun mereka pergi. Jackie juga membawa pistol, mengancam akan menembak kepala Linnet. Hercule Poirot yang kebetulan ikut dalam tur tersebut, dimintai tolong oleh Linnet untuk menyelesaikan masalahnya. Setelah mendengar keluh-kesah Linnet, Poirot kemudian menemui Jackie dan menasihatinya. Namun Jacki tidak mau dengar. Dia tetap akan melakukan teror itu, dan suatu saat pasti akan menembak kepala Linnet.

Suatu malam, saat Poirot merasa ngantuk sekali sehingga dia cepat tidur, terjadilah insiden pertengkaran antara Simon dan Jackie. Gadis itu dalam keadaan mabuk menembak kaki Simon. Setelah itu terjadi, dia seolah jadi gila, dan menyesali perbuatannya. Dan pada pagi harinya, Linnet ditemukan tewas di kabinnya, dengan luka tembak di kepala. Di dinding dekat dia berbaring, tertulis huruf J dengan darah. Saat Poirot memeriksa jari Linnet, ada darah di sana. Mungkinkah ucapan yang pernah dikatakan Jackie bahwa dia ingin membunuh Linnet itu benar-benar dilakukannya?

Dan Mosieur Hercule Poirot mulai beraksi...

Satu lagi misteri yang sangat mengesankan dalam buku Madam Christie. Kali ini bukan lagi di London, melainkan Mesir. Dengan setting tempat yang tidak biasa, sambil mengikuti alur ceritanya aku berasa terlibat dalam tur di atas Sungai Nil itu. Mengesankan! (jadi pengen ke Mesir juga).

Diawali dengan plot yang terpisah-pisah, setting yang berbeda, serta tokoh-tokoh yang berbeda pula. Di masing-masing plot, setiap tokoh punya latar belakang berbeda-beda namun masih tetap terhubung dengan benang merah cerita ini; Linnet Ridgeway. Di cerita ini terlibat banyak tokoh yang awalnya (jujur) bikin aku bingung. Tapi di situlah hebatnya Madam Christie, dia mampu menciptakan karakter yang nggak sama satu dengan yang lainnya. Walaupun satu tokoh itu perannya nggak begitu penting, tapi tokoh itu punya satu ciri yang bisa membuatnya beda dari karakter lain. Salah satu yang membuat aku kagum sama Madam Christie. Dan kurasa hampir semua bukunya melibatkan banyak tokoh (sejauh yang udah pernah kubaca).

Berikutnya, aku masih suka sama cara Madam Christie mendeskripsikan tokoh-tokohnya, terutama Hercule Poirot. Trademark-nya tetap bertahan; lelaki kecil/pendek, kumisnya yang luar biasa (lebat dan melengkung ke atas dengan unik), matanya yang (melebar) seperti mata kucing, lincah, dan satu yang paling utama—sikap sombongnya yang luar biasa.

Kembali ke cerita, seperti buku-buku Madam Christie yang sudah-sudah, akhir dari misteri pembunuhan ini nggak pernah bisa ketebak atau disangka-sangka. Selalu di luar dugaan. Seorang tokoh yang rasanya mustahil atau (sengaja) diposisikan pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk dijadikan tersangka, pada akhirnya dialah pelakunya. Dan lagi, dalam misteri kali ini nggak hanya terpaku pada satu pembunuhan, ada dua pembunuhan menyusul yang bikin jantung berdebar!

Penasaran? Buruan baca. Atau sudah? Mau berdiskusi? :)


gambar: gpu.co.id

5.08.2011

RED CLIFF, an Awesome Epic War Film!

Diposting oleh mii di 01.36 0 komentar

Entah kenapa ada yang menarik banget dari film ini. Padahal sebelumnya aku jarang nonton film kolosal—apalagi Cina, karena emang nggak suka. Tapi waktu pertama liat film ini tayang di sebuah stasiun TV nasional kita (yang part 1), itu saluran nggak aku ganti. Awalnya sih karna liat muka Takejii (Kaneshiro Takeshi) di situ xD. Tapi jujur bukan cuma karna itu. Semakin lama aku tonton, emang banyak hal-hal yang menarik di sana.

Red Cliff mengisahkan perang yang terjadi di masa akhir Dinasti Han (208-209 M). Dimulai oleh pasukan Perdana Menteri Cao Cao (Zhang Fengyi) yang menyerang wilayah barat yang dikuasai Liu Bei (Anda Yong). Pertempuran itu dimenangkan oleh Cao Cao, sehingga Liu Bei dan rakyatnya tepaksa mengungsi dan meminta perlindungan pada wilayah timur Wu. Kemudian atas saran Zhuge Liang (Kaneshiro Takeshi), penasihat Liu Bei, koalisi terjalin antara Liu Bei dengan pemimpin wilayah timur, Sun Quan (Chang Chen). Mereka sepakat beraliansi untuk menyerang Cao Cao, dan pasukan mereka dipimmpin oleh jendral serta panglima hebat, Gan Xing (Nakamura Shido) dan Zhou Yu (Tony Leung). Karena jumlah prajurit mereka terlalu sedikit dibandingkan pasukan Cao Cao, Zhuge dan Zhou harus membuat strategi jitu untuk mengalahkannya. Termasuk mengirim Sun Shangxiang (Vicky Zhao), adik Sun Quan, untuk menjadi mata-mata di wilayah musuh.

Di tengah cerita, diketahui bahwa penyerangan Cao Cao di Jurang Merah adalah karena wanita. Cao Cao memiliki sebuah lukisan wanita cantik di ruangannya, dan ternyata lukisan itu adalah Xiao Qiao (Lin Chi-ling), istri Zhou Yu. Sehingga sebelum perang di atas Sungai Yangtse itu dimulai, Xiao Qiao datang menemui Cao Cao (tanpa sepengetahuan suaminya) untuk memintanya menghentikan perang. Tapi Cao Cao berkilah bahwa ambisinya bukan karena wanita itu. Dia akan tetap berperang, karena pertempuran itu mengorbankan kehormatan dirinya. Dalam pertempuran kali ini, angin menguntungkan pasukan Zhou Yu. Pasukannya menyerang dengan api, dan membakar habis pasukan Cao Cao. Perdana Menteri itu kalah, dan diusir dari wilayah itu. Zhou Yu dengan besar hati tidak menghukum mati dirinya, karena bukan kekuasaan yang diincarnya.

Film ini mengingatkan aku pada film kolosal juga, Troy. Sama-sama film perang, dan sama-sama menayangkan strategi perang yang luar biasa. Tapi buatku, taktik yang dipake sama para sesepuh bangsa Cina di film ini lebih keren dan lebih cerdas. Kalo Troy terkenal dengan taktik Trojan Horse untuk menembus benteng Kerajaan Troya, nah di Red Cliff pake taktik angin untuk menaklukan pasukan Perdana Menteri Cao Cao. Nggak hanya itu, masih banyak taktik-taktik lain yang bikin kita mangap kagum. Seperti taktiknya Zhuge Liang untuk mendapatkan 100.000 panah musuh. Trus taktik pertahanan yang dipake Zhou Yu waktu diserang pasukan Cao Cao di wilayahnya, padahal Zhuge Liang sempat mencibir kalo itu taktik kuno. Ternyata berhasil, dan malah mampu memukul mundur pasukan Cao Cao.

Selain strategi-strategi cerdas itu, banyak juga nilai-nilai humanis dan patriotis dalam film ini. Seperti kita bisa mengenal bagaimana budaya bangsa Cina lewat seni minum teh yang ternyata memiliki makna khusus. Kemudian seni bermusik yang bisa menjadi media komunikasi antara yang satu dengan yang lainnya, seperti dalam adegan di part 1 antara Zhuge Liang dan Zhou Yu saat memetik alat musik mereka (aduh saya nggak tau namanya, mungkin kalo di Jepang semacam koto, kalo di Indo ya kecapi gitu deh). Dan semangat patriotisme yang muncul bisa dilihat dari perjuangan rela mati dari masing-masing pasukan. Meski begitu, film ini juga memuat unsur cinta damai. Kekuatan serta kekuasaan yang diibaratkan bagai sebilah pedang yang menghunus, tidak lebih indah dari kedamaian. Makanya film ini ditutup dengan klimaks yang bagus, yang menggaris-bawahi sebuah perdamaian; Zhou Yu datang bersama istrinya Xiao Qiao membawa Mengmeng yang telah besar (kuda yang dulu proses kelahirannya yang sungsang dibantu Zhuge Liang) ke padang rumput, dan memberikannya pada Zhuge Liang untuk dilepaskan. Sebelum berpisah Xiao Qiao berkata, “Jangan jadikan Mengmeng sebagai kuda perang ya!” Akhir sebuah film perang yang indah banget!

Dan aku paling suka dan paling tersentuh sama adegan di mana Cao Cao berhasil dikalahkan. Tapi saat itu yang dikatakan Zhou Yu adalah, “Tidak ada kemenangan di sini.” Jelas banget bahwa inti dari perang itu bukanlah perebutan kekuasaan, tapi lebih kepada mempertahankan kedamaian. Karena bagaimanapun alasannya, perang hanya meninggalkan kehilangan dan kepedihan atas orang-orang yang jadi korban.

Sang sutradara, John Woo, mengatakan isi cerita Red Cliff ini nggak sepenuhnya berdasarkan sejarah, cuma 50%-nya aja. Selebihnya adalah improvisasi dari si sutradara sendiri. Woo memutuskan mengubah cerita dengan mencampurkan perasaan modern dan perasaannya sendiri untuk kesan yang lebih menduniawi. Menurutnya, akurasi sejarah tidaklah lebih penting ketimbang perasaan penonton tentang pertempuran. Aku rasa teori John Woo berhasil. Dari benang merah sejarah pertempuran di Jurang Merah, film ini semakin kaya dengan pencampuran drama hasil olahan Woo, sehingga memberi kesan warna-warni dalam film ini. Nggak melulu tentang pertumpahan darah; ambisi terhadap kekuasaan, tapi juga dihiasi unsur drama yang lebih humanis dan nggak monoton.

Satu film bagus buatmu yang mungkin belom nonton Red Cliff!



sumber: wikipedia

5.01.2011

Di Dapur

Diposting oleh mii di 00.04 0 komentar
Seperti kata seorang temanku, semua yang kita lewati dalam hidup ini nggak ada yang sia-sia. Setuju banget sama dia. Karena memang apapun yang diciptakan Allah, apapun yang terjadi atas kehendak-Nya, nggak ada yang sia-sia, semua ada hikmahnya.

Nah, salah satunya adalah kisah hidupku sendiri. Sampai saat ini aku merasakan yang namanya susahnya mendapatkan pekerjaan. Apalagi di kota besar macam Jakarta. Ini jadi cobaan yang berat buat aku. Alhamdulillah Allah masih memberiku kekuatan untuk nggak berhenti ikhtiar dan terus berpikir optimis. Ya seperti kataku tadi, nggak ada yang sia-sia, karna semua ada hikmahnya. Aku belum juga dapat pekerjaan. Nah salah satu hikmahnya aku ada di rumah adalah bantu-bantu orang tua, terutama Mama.

Belakangan ini aku rajin bantuin Mama di dapur. Jujur, aku sama sekali malas masak. Yang selalu ada di pikiranku itu makan, makan, dan makan aja. Aku malas kalo udah dilibatkan dengan urusan-urusan bikin repot di dapur. Tapi karena merasa jenuh juga tanpa kerjaan penting di rumah, akhirnya kuputuskan untuk menengok kegiatan Mama di 'kantor'-nya. Walaupun nggak bisa masak, seenggaknya aku bisa bantu motong-motongin sayuran, atau ngupasin bawang, atau numis bumbu, yah kerjaan-kerjaan ringan gitu. Lama-lama kunikmati juga 'kerepotan' ini.

Setelah aku rajin ngerecok di dapur, aku mulai hapal bumbu-bumbu beberapa jenis masakan (lumayan lah), aku juga mulai bisa masak beberapa sajian (yang pastinya nggak susah-susah amat masaknya xD), selain itu aku juga tau gimana caranya mencuci sayur yang benar. Pokoknya banyak yang aku dapat. Apalagi masak itu kan hal yang rasanya wajib dikuasai cewek. Kita kan nggak selamanya hidup sama orang tua, nggak selamanya dibantuin pembantu. Lagian di mana-mana yang namanya suami pasti lebih suka seorang istri yang jago masak. Iya toh? Walaupun nggak sejago Farah Qiunn, seenggaknya bisa menyajikan sesuatu yang enak dimakan.

Selain itu, selama aku di dapur, aku sadar lebih punya banyak waktu buat ngobrol sama Mama. Mulai dari soal keluarga, soal lingkungan rumah, harga barang (biasa ibu-ibu), masa depan, atau hal apapun yang biasa dibincangkan ibu dan anak perempuannya. Kami punya lebih banyak kesempatan untuk berbagi, saling mengenal lebih dalam... Intinya waktu-waktu kami yang terbuang di dapur dapat membuat aku dan Mama jadi lebih dekat.

Terbukti kan? Nggak ada yang sia-sia di dunia ini!
 

doremii dori! Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea